living life and love to the fullest...

Monday, September 15, 2008

Sipe, si pengadu…

Kalau sebelumnya Rombengus pernah bercerita mengenai James, si pengadu, kali ini kisahnya Sipe yang juga punya kebiasaan buruk ‘suka mengadu’… Dan ternyata ngadu-mengadu ini tak terpaut pada gender, semua orang bisa saja suka mengadu.

Sipe ini seorang gadis biasa, berperawakan cukup manis, berusia pertengahan 30-an. Ia berasal dari keluarga sederhana yang berambisi menjadi orang kaya dalam waktu secepat-cepatnya. Ia bekerja di sebagai asisten manajer proyek sebuah perusahaan jasa konstruksi tahan gempa di Jakarta.

Pada awalnya Sipe dapat bekerja dengan baik dengan semua rekannya. Waktu itu rekan-rekan sekerjanya tak ada yang menyadari sifat suka mengadunya itu. Tapi lambat laun satu per satu rekannya mengetahuinya (ada yang melihat ataupun menjadi korban) dan malas untuk dekat-dekat dengannya. Misalnya saat meeting mingguan membahas perkembangan suatu proyek konstruksi, saat giliran Sipe mempertanggungjawabkan pekerjaannya, ia hanya menonjolkan pencapaiannya yang hebat-hebat saja dan menyembunyikan kegagalannya dengan cara meng-highligt kesalahan/kegagalan orang lain.

Saat pekerjaan proyek renovasi sebuah rumah mewah mundur dari jadwal yang telah ditetapkan. Sipe bukannya meminta maaf kepada team-nya dan mengajak rekan-rekan team untuk dapat membantunya menyelesaikan proyek itu, ia malah mengungkapkan rekannya si A yang juga gagal di proyek X, rekan si B yang juga mundur pengerjaannya di proyek Y, dst. Dan bukan hanya pada saat review mingguan saja, Sipe juga kerap mendekati si Boss untuk mengadukan rekan-rekan satu team atau dari team yang lain.

Yang membuat sifat mengadu ini bertambah parah adalah sifat Sipe yang selalu fokus pada kesalahan orang lain, ibarat ‘kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak.’ Dan keadaan menjadi tambah mengenaskan karena boss nya yang moody itu selalu percaya pada ocehan Sipe. Dan Sipe yang suka gaul itu juga dekat dengan pimpinan lainnya yang memudahkannya melancarkan aksi ngadu ini – ngadu itu… Dan, lagi-lagi, banyak pimpinan di perusahaan konstruksi itu yang begitu mudah mempercayai Sipe, mungkin karena wajahnya yang innocent atau cara berbicaranya yang sangat meyakinkan.

Sebagai akibatnya, rekan-rekannya ogah untuk dekat dengannya. Bahkan rekan-rekan satu teamnya sepakat untuk ‘kalau ada apa-apa, gak usah kasih tau Sipe…’

Kasus Sipe ini berbeda dengan James, walaupun mereka sama-sama suka mengadu. Ada 2 hal yang menyebabkannya suka mengadu:

1. Ambisi ingin menjadi nomor satu. Ambisi ini dimiliki Sipe sedari kecil. Ambisi ini positifnya dapat membuatnya -sebagai seorang gadis yang tumbuh di Kalimantan dengan kehidupan yang sederhana dan pendidikan biasa saja- datang ke Jakarta untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dengan penghasilan yang baik pula. Setelah ia memperoleh semuanya itu, ambisinya tak berhenti sampai di situ, kini Sipe berusaha menjadi nomor 1 di kantornya. Sayangnya hal ini ditempuhnya dengan jalan kurang bijaksana, dengan mengadukan rekan-rekannya satu per satu, dengan sikut sana-sikut sini. Sipe tidak menyadari bahwa ia telah menyakiti rekan-rekannya…

Sifat ini semakin menjadi karena boss nya gemar membandingkan seseorang dengan orang lain. Sipe bukan hanya kesal dibandingkan tetapi juga membenci orang yang menjadi pembandingnya itu dan berusaha mati-matian menunjukkan kepada si boss bahwa dirinya jauh lebih baik daripada si pembandingnya, tentu dengan cara mengadukan keburukan orang tsb…

Saat ketahuan mengadu dan seorang rekannya menanyakan motivasinya, Sipe bak malaikat menjawab bahwa niatnya mulia. Ia menginginkan improvement… Ia ingin rekan kerjanya improve, menjadi lebih baik. Dan ia ingin perusahaan konstruksi itu juga improve… Tetapi saat rekannya balik bertanya, “Oke saya akan improve, kamu sendiri improvement nya apa? Dari tahun lalu kamu lupa melulu… Banyak pekerjaan yang belum selesai sampai berbulan-bulan… bla bla bla…” Sipe tak bisa menjawab. Karena ia memang tidak pernah melihat gajah-gajah di pelupuk matanya….

2. Ambisi pribadi yang belum terselesaikan. Bukan hanya ingin menjadi nomor 1 di tempatnya bekerja, Sipe juga memiliki target pribadi yang terus diperjuangkannya. Tetapi sayang hingga kini banyak targetnya yang belum kesampaian. Salah satunya adalah menikah. Sebenarnya Sipe telah berpacaran selama 11 tahun. Tetapi hingga kini pria itu tak kunjung melamarnya. Sipe yang cinta mati dengan pemuda itu enggan memaksa si pemudia untuk segera dinikahi, karena Sipe takut pria itu akan kabur bila dipaksa. Empat tahun terakhir Sipe stress berat dengan statusnya ini… Cinta membuatnya terhenti di puncak rel rollercoaster. Pria itu tak urung membawanya turun, menyelesaikan cinta itu hingga ke pelaminan.

Target lainnya yang belum kesampaian adalah menyelesaikan studinya. Masih 2 tahun yang harus ditempuh Sipe untuk mendapatkan gelar idamannya. Dan ia sendiri terpusingkan dengan itu. Kuliah belum kelar, si pria belum melamar, belum menjadi nomor 1 di kantor/kampus…

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan target dan planning pribadi yang Sipe buat. Yang menjadi permasalahan adalah cara dan proses mencapainya. Untuk menjadi nomor 1 di kantor, bisa dilakukan dengan cara yang fair. Bekerja sebaik mungkin, tanpa perlu pusingkan kinerja orang lain. Gak perlu ngurusin orang lain. Gak perlu menikam teman dari belakang demi sebuah pujian dari atasan…

Dan untuk dinikahi kekasihnya, Sipe perlu memberanikan diri untuk mengutarakan isi hati pada kekasihnya. Mungkin sedikit ancaman dapat membuat kekasihnya yang peragu itu berpikir untuk cepat-cepat menikah. Untuk kuliah yang belum selesai, toch itu adalah keputusan Sipe sendiri untuk melanjutkan studi. Seharusnya ia sudah siap dengan konsekuensinya, termasuk lama waktu penyelesaiannya.

--------

Untuk kita sendiri, banyak orang yang berambisi besar di sekitar kita. Dan banyak dari mereka yang belum dewasa, emosinya belum stabil dan kurang bijaksana, sehingga proses mereka meraih ambisi tersebut merugikan orang lain… bisa jadi kita yang kena dampaknya.

Bila kita menjadi si korban, bila kita cukup dekat dengannya, kita dapat menegurnya. Tetapi bila keadaan tidak memungkinkan sebaiknya kita menjauhi orang tersebut. Karena yang ada niat baik kita dianggap negatif dan malah dimusuhi. Bila kita menjadi si korban dan telah ditikam dari belakang, tidak ada salahnya menjelaskan situasi yang sebenarnya ke si boss, agar si boss mendapatkan pandangan yang lebih terbuka.

Bila kita lah pelakunya, tak ada yang salah bila kita berambisi untuk mengapai sesuatu. Tetapi kita perlu melihat apakah hal tersebut memang mampu kita capai dan bagaimana proses pencapaiannya. Saya yakin setiap agama mengajarkan kita untuk berbuat baik kepada sesama dan saling mengasihi. Menikam teman dari belakang, mengadukan teman demi kepentingan pribadi dan menyakiti teman bukan lah hal yang disukai Tuhan…

rombengus_110909

d