living life and love to the fullest...

Friday, May 23, 2008

The golden boy vs Upil


Seorang teman sering curhat mengenai ketidakadilan pimpinan dalam memperlakukan anak buahnya. Ada anak buah yang dipuja habis-habisan. Bila ia bertindak melenceng dari prosedur, pimpinan seakan tidak mampu bertindak tegas. Segala usulannya diterima, dan berbagai fasilitas serta kemudahan diberikan. Dia inilah si golden boy alias anak emas pimpinan. Mengapa anak emas ini diperlakukan demikian? Karena si pimpinan menganggapnya sebagai sumber duit yang bisa menguntungkan perusahaan, selain karena anak emas ini pintar sekali bicara dan meyakinkan orang (persuader).

Di sisi lain, adalah si upil. Upil ini nasibnya bertolak-belakang dengan si anak emas. Usulannya dianggap usulan bocah kemarin sore. Boro-boro dapet fasilitas lebih, kalau bisa dikurangi. Si upil boleh melanggar prosedur? Gak mungkin. Baru datang telat dikit aja si upil sudah dapet teguran keras. Si upil ini semakin gak dianggep karena posisinya yang mengurusi hal-hal bersifat administratif. Maklum, perusahaan yang uzung-uzungnya duit seringkali menyepelekan fungsi admin dengan menganggapnya tidak berkontribusi langsung ke duit, malah ngabisin duit. Ibarat upil, kehadirannya sering disepelekan dan kurang dihargai. Dan bagi si pimpinan, semakin dikit jumlah upil malah makin bagus…

Pada dasarnya setiap orang memiliki preference, lebih suka ini daripada itu. Saya sendiri lebih suka sate daripada nasi goreng, lebih nyaman kerja di pagi hari daripada malam hari, lebih suka mobil kecil built-up daripada mobil besar, lebih suka travelling daripada bermain di bursa saham, dll.

Saat seseorang mulai melalukan preference, secara sadar ataupun tidak ia mengelompokkan orang/barang/hal ke dalam kelas A dan kelas B. Kelas A yang lebih disukai, kelas B yang kurang disukai atau yang biasa-biasa saja. Bisa pula ditambahkan kelas C yang berisi hal-hal yang tidak disukai. Kembali ke kisah si anak emas dan upil tadi, pimpinan yang lebih suka dengan si anak emas memasukkan anak emas itu ke kelas A, sementara si upil berada di kelas B.

Sebenarnya pengelompokkan ini tak menjadi masalah bila si pimpinan bisa bersikap adil dan berusaha meng-unleash talent setiap anak buahnya. Orang-orang yang berada di kelas B dan C juga perlu di-unleash talent-nya. Memperlakukan mereka seperti upil adalah suatu kesalahan besar karena dulu yang merekrut mereka bisa jadi si pimpinan itu sendiri. Orang-orang di kelas B dan C bila diperlakukan secara tepat dan diberi kesempatan dapat berkontribusi banyak bagi perusahaan.

Penjelasan di atas sepertinya tidak mempan lagi mengobati kekecewaan teman saya. Dengan diperlakukan sebagai manusia kelas 2 dan selalu dijadikan upil, ia pun memutuskan untuk pindah. Saya tidak berusaha menghalanginya asalkan ia menemukan tempat yang lebih baik, yang dapat mendukungnya untuk menjadi lebih baik.

Well, memang benar ungkapan para ahli bahwa mayoritas orang memutuskan untuk pindah bukan karena perusahaannya, tetapi karena pimpinannya…


:: rombengus 220508

d