living life and love to the fullest...

Monday, February 18, 2008

Unleash talent gaya timur

Sewatktu berada di Eropa dulu, beberapa kali saya dikagetkan akan banyaknya mahasiswa penerima beasiswa dari Indonesia sudah tidak lagi berusia muda. Ada mahasiswa program doktoral berusia 45 tahun. Bahkan ada pula yang berusia 50 tahun. Mahasiswa program Master (s2) juga ada yang berusia 40 tahun. Mahasiswa ‘senior’ ini kebanyakan kiriman dari departemen atau kampus tertentu, alias PNS.

Yang mengherankan bukan kemampuan mereka, tetapi masa bakti mereka setelah lulus kuliah kelak. Seandainya mahasiswa yang berusia 50 tahun itu menyelesaikan studinya dalam waktu 4 tahun, berarti ia akan kembali ke Indonesia dalam usia 54 tahun. Dan bila usia pensiun adalah 60 tahun, berarti sisa masa baktinya 6 tahun saja! Bayangkan bila yang ditugaskan belajar adalah karyawan yang masih muda berusia 30 tahun, saat selesai studi di usia 34 tahun ia masih dapat membaktikan dirinya selama 26 tahun.

Karena hal tersebut, banyak institusi pemberi beasiswa yang memberikan batasan usia bagi penerima beasiswa. Umumnya batasannya adalah 30 tahun untuk calon penerima beasiswa S2, dan 35 tahun untuk penerima beasiswa S3.

Saat ditelaah mengapa yang dikirim belajar adalah yang berusia menua, itu dikarenakan senioritas yang tinggi dalam budaya kita. Sampai-sampai saat ada kesempatan belajar yang dikirim adalah yang tua dulu. “Beri kesempatan untuk yang tua dulu… yang muda kan masih punya waktu untuk kesempatan berikutnya…” begitu komentar seorang teman yang kebetulan pernah mengalami hal itu.

Budaya senioritas memang melekat dalam budaya kita. Di perusahaan-perusahaan saja, lama bekerja dan tingkat atau posisi jabatan memegang peranan penting. Yang baru bergabung atau yang masih berusia muda seringkali dimasukkan ke dalam daftar ‘the next persons’ alias dianggep gak penting. Usulan dari anak muda sering gak didengar. Hanya yang sudah senior (baik usia maupun pengalaman) dan jabatannya tinggi saja yang dilibatkan di diskusi-diskusi yang dianggap penting.

Budaya ini juga pernah disorot oleh iklan rokok dengan yel-yelnya “Yang muda yang ga dipercaya…” yang menunjukkan kalau yang ngomong anak muda akan dipandang sebelah mata atau didengarkan sepertiga telinga. Sementara kalau yang bicara si senior, sudah pasti didengarkan.

Ironisnya, di berbagai teori manajemen banyak dibicarakan mengenai pengembangan karyawan (people development). Para ahli manajemen sedunia setuju bahwa setiap orang dikaruniai talenta dan talenta itu harus dikembangkan dan dioptimalkan (unleash talent). Setiap orang punya potensi dan kompetensi yang perlu diasah. Kedengaran indah, bukan? Apalagi di era pengetahuan seperti sekarang, katanya setiap orang tidak lagi dipandang sebagai ‘sumber daya’ tetapi sebagai manusia yang punya hak untuk dikembangkan.

Tetapi, ternyata, teori-teori manajemen tersebut banyak yang berasal dari barat, yang kulturnya beda dengan kita. Di sana persamaan hak setiap individu sudah begitu tinggi, setiap orang berani dan bebas bersuara dan didengarkan. Dari kecil, anak-anak bule sudah diajarkan untuk mengutarakan isi hatinya, mengeluarkan pendapat dan mendengarkan pendapat orang lain. Pola itu terus diasah hingga mereka dewasa. Proses mendengarkan pendapat dan mengeluarkan pendapat sudah seperti proses bernafas bagi mereka.

Melihat hal ini, saya jadi memikirkan proses people development di Indonesia terutama di perusahaan-perusahaan yang budaya senioritasnya tinggi. Seberapa jauh kita dapat mengembangkan orang-orang atau karyawan kita secara maksimal bila ternyata perusahaan masih prefer dan mendahulukan karyawan yang tua-tua dan yang jabatannya tinggi.

Auk ah, gak mau mikirin lagi… mendingan pulang, trus bobo. Hehe :)

:: rombengus 180208

d