living life and love to the fullest...

Tuesday, February 12, 2008

Discovering Tanah Abang

Beberapa teman sering prihatin pada saya karena pengetahuan saya mengenai dunia belanja masih sangat minim. Untuk kategori mal saja saya hanya suka 3 mal: Ambasador, Plaza Senayan dan Senayan City. Belakangan ini tambah 1 lagi yaitu Pacific Place. Sebenarnya mal-mal tersebut saya gemari karena tidak jauh dari kantor/rumah dan tempat makannya yang lumayan.

Dalam rangka meningkatkan pengetahuan, weekend yang lalu teman-teman menggiring saya ke pasar Tanah Abang. Dan ternyata Tanah Abang kini telah berubah wujud! Kini pasar Tanah Abang blok A dan Metro Tanah Abang telah menjadi pasar yang modern. Ber-AC dan bahkan foodcourt-nya senyaman mal-mal bergengsi di Jakarta. Toiletnya saja mirip Senayan City walaupun tidak disediakan tissue wc…

Walaupun telah menjadi modern, sisi lama dari pasar Tanah Abang masih bersisa seperti penjual korma dan karpet asal Timur Tengah. Pasar lamanya sendiri, yang lorong-lorongnya rada gelap, tidak ber-AC dan sempit juga masih ada. Teman saya menjuluki area pasar lama ini sebagai ‘the dark side of Tanah Abang’.

Tanah Abang yang baru kini dalam tahap mensosialisasikan perubahan dirinya ke masyarakat. Image Tanah Abang sebagai pasar yang dekil, panas dan hanya untuk segmen menengah ke bawah, masih melekat di mata masyarakat. Kesannya masih “… belanja di Tanah Abang itu gak keren… gak elite…”

Hal yang serupa juga menimpa bioskop Djakarta Theater. Banyak orang mengira Djakarta Theater adalah bioskop ‘jadul’ yang kumuh dan jelek. Padahal kini Jakarta Theater sudah masuk dalam jajaran bioskop XXI jaringan Cinema 21.

Mengubah image atau label yang telah melekat memang bukan hal mudah. Untuk percaya bahwa Djakarta Theater dan Tanah Abang telah berubah saja saya perlu datang dan melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Dan bukan hanya pasar Tanah Abang ataupun Djakarta Theater, kita sebagai individu pun sering diberi label oleh orang lain. Label bahwa kita tukang gosip, gak bisa dipercaya, tukang telat, jarang mandi, bergaya sok sibuk, gak bisa mimpin, suka slonong sana-slonong sini, dsb. Label-label itu kadang tak sekedar diomongin di belakang atau dikemukakan secara personal kepada ybs (berupa pemberian feedback yang positif). Tetapi seringkali kita menyampaikannya dengan cara negatif (misalnya berupa sindiran) dan menekankan hal tsb ke orang ybs secara terus-menerus.

Bayangkan bila si Chan secara kontinu ditekankan bahwa ia adalah si tukang telat. Walaupun mungkin niatnya merubah Chan, tetapi lambat laun sindiran itu menjadi label yang begitu merekat sampai-sampai secara psikologis si Chan mengakui dan meng-klaim dirinya sebagai si tukang telat.

Chun juga pernah mengalami hal yang demikian. Di suatu organisasi Chun dianggap tidak bisa memberikan pelatihan. Sebenarnya ia bisa saja, tetapi gaya mengajar Chun bertipe serius a la dosen, tidak penuh canda tawa ataupun menggugah emosi seperti di kebanyakan training motivasi. Karena berbulan-bulan Chun selalu ditekankan hal yang demikian, ketika disuruh memberi pelatihan ia malah mundur. Tidak berani mengambil tawaran itu. Di benaknya, tanpa mencoba terlebih dulu, Chun sudah merasa dirinya tidak mampu…

Saya menyebut proses ini sebagai ‘penjajahan mental.. atau pengkeroposan keyakinan diri…”

Mengubah image atau label merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Bila Tanah Abang dan Djakarta Theater perlu melakukan proses sosialisasi dan membuat berbagai bentuk iklan selama berbulan-bulan, Chan dan Chun juga mengalami tantangan yang tidak mudah untuk mengubah keadaan mereka. Mereka perlu terlebih dahulu mengubah mindset mereka terhadap kemampuan diri mereka sendiri. Chan perlu meyakinkan dirinya bahwa ia bukan seorang yang suka telat. Chun perlu mengubah mindsetnya bahwa ia dapat memberikan pelatihan.

Dengan mindset yang baru, Chan dan Chun dapat mulai memperbaiki diri mereka (tidak lagi suka terlambat dan mulai belajar mengajar training yang menggugah emosi), dan kemudian menunjukkan perubahan itu ke orang lain. Mungkin proses ini akan makan waktu. Mungkin Chan dan Chun perlu diberi kesempatan khusus untuk mengubah label diri mereka. Atau mungkin Chan dan Chun perlu mencari lingkungan baru yang lebih kondusif dimana mereka dapat mulai hidup baru dengan image positif...

:: rombengus 11.02.08 ::

d